JAPAN INVASION 2025: Catatan Perjalanan Alone At Last di Negeri Sakura
Ditulis oleh: Yas Budaya – Vokalis Alone At Last
23 tahun perjalanan musik bukan angka yang sebentar. Setelah melewati begitu banyak panggung, kota, bahkan negara, akhirnya di tahun 2025 Alone At Last mendapatkan kesempatan yang sejak lama jadi mimpi: perform pertama kali di Jepang.
Sebuah undangan datang dari komunitas Indonesia di Tokyo. Sederhana, tapi penuh arti. Dan di situlah kami menamakan perjalanan ini: JAPAN INVASION 2025.
Kami hanya berangkat berlima, tanpa tim besar seperti biasanya. Satu crew dokumentasi jadi satu-satunya teman tambahan kami. Sisanya? Ya, semua kami lakukan sendiri. Dari bawa merchandise, pasang spanduk, sampai mikirin makan halal di negeri orang. Delapan hari di Tokyo, delapan hari penuh cerita, pengalaman, dan momen yang rasanya nggak akan pernah hilang dari kepala gue.
Dan karena semua terlalu berharga untuk dilewatkan, gue akan ceritakan secara detail, day by day. Siap? Let’s go.
Day 1 – Perjalanan Panjang Dimulai
7 Agustus dini hari, kami berangkat dengan modal utama: merchandise, spanduk, trading card (yup, band di Indonesia yang bikin kartu koleksi ala basket, itu kita!), perlengkapan panggung, dan baju secukupnya. Musim panas di Jepang mencapai 32–35 derajat celcius, jadi nggak perlu ribet bawa banyak barang. Gue sendiri sudah menyiapkan andalan: FYC Offbeat Black, sepatu yang nantinya bakal menemani gue perform di Machida.
Perjalanan dimulai dengan bus super nyaman dari Bandung menuju Soekarno Hatta. Hanya lima orang mengisi 32 kursi—berasa bus pribadi. Jam 7 pagi, pesawat kami terbang, dan 9 jam kemudian akhirnya mendarat di Haneda, Tokyo.
Disambut hangat oleh teman-teman komunitas Indonesia (shout out buat Odol, Rio, dan kawan-kawan), kami lanjut perjalanan dengan kereta. Lucunya, Athink (drummer) sudah punya kartu SUICA dari pengalaman sebelumnya di Jepang, jadi dia jadi "pemandu dadakan" buat kami. Malam itu kami akhirnya tiba di apartemen AirBnB: flat besar dengan ranjang tumpuk, dapur lengkap, mesin cuci, hingga meja biliar! Dan ya, meja biliar itu langsung jadi rebutan sebelum kami menutup hari pertama dengan obrolan panjang bareng komunitas sampai jam 2 pagi.

Day 2 – Shinjuku & Penyesalan Seumur Hidup
Bangun pagi, gue langsung melipir ke Daiso di depan apartemen. Barang pertama yang gue beli? Pancingan ikan mini. (Iya, absurd, tapi gue udah ngebayangin itu dijadiin kalung ornamen. Hahaha).
Hari itu kami jalan-jalan ke Shinjuku. Gue ditemani Rio, muter-muter dari action figure anime sampai toko vintage game. Di salah satu toko tiga lantai, gue nemuin koper Nintendo jadul yang dijual cuma Rp30 ribu! Tapi karena mikirin ribet bawanya, gue skip. Dan sekarang? Gue nyesel seumur hidup.


Day 3 – Studio Noah & Disiplin Ala Jepang
Hari ketiga, kami coba latihan di Studio NOAH—tempat yang menurut gue salah satu studio paling profesional yang pernah gue lihat. Semua lengkap: dari alat musik, amply, bahkan ruang untuk podcast atau VO. Jam latihan super disiplin, bahkan ada alarm sirine yang menandakan waktu habis. Bayangin kalau studio di Indonesia kayak gini, mungkin band-band jadi lebih tertib.
Setelah latihan, gue nemu gantungan kunci Yuki Yakamura—pemain basket Jepang yang pernah main di NBA. Lagi-lagi, "perintilan" kecil yang bikin gue bahagia.

Day 4 – Pegel, Podcast, dan Sambal
Setiap hari rata-rata kami jalan 12–15 km. Tapi semua terbayar dengan keseruan. Pagi itu kami bikin live podcast di rooftop, lalu sarapan bareng. Athink yang jadi chef dadakan bikin sambal cumi (serius, di Jepang pun sambal tetap jadi kebutuhan primer!).
Hari itu juga kami ketemu Dadut, teman lama gue yang sekarang tinggal di Jepang, dan Abe, salah satu fans lama Alone At Last yang kini bantuin kami jadi FOH. Rasanya surreal banget: dari dulu dia beli merchandise kita di sekolah, sekarang dia bantuin langsung di Jepang.


Day 5 – Hari Besar di Machida
12 Agustus 2025. Hari yang kami tunggu-tunggu.
Venue Machida penuh dengan komunitas Indonesia yang datang memberi dukungan. Merchandise ludes, sesi tanda tangan ramai, dan obrolan hangat dengan mereka yang sehari-harinya kerja keras di Jepang.
Kami main 14 lagu, dengan energi yang seperti biasa: mosh, stage dive, circle pit, sing along—semua pecah. Rasanya luar biasa melihat antusiasme orang-orang di tanah asing, tapi nyanyi bareng lagu-lagu kita.
Dan tentu saja, sepulang perform kami nggak langsung pulang. Tradisi cari makan enak tetap harus dijalankan sebelum akhirnya kembali ke AirBnB.




Day 6 – Perburuan Mainan & Koleksi
Hari keenam, waktunya berburu mainan. Gue dan Dadut ke Ueno, mampir ke toko kecil yang ternyata punya empat lantai penuh action figure, komik, dan barang vintage. Setiap sudut bikin panik karena takut ketinggalan barang unik. Sejam setengah hanya di satu toko. Dan hasilnya? Koleksi aman, oleh-oleh aman.


Day 7 – Trading Card, Musik Legendaris, dan Perintilan yang Bikin Bahagia
Hari ketujuh, kami masih lanjut keliling kota naik kereta. Target utama hari itu: ketemu Ibey dari KBRI sore harinya, tapi sebelum itu gue dan Dadut udah kegatelan pengen hunting barang incaran.
Berkat Google Maps, kami berhasil nemuin MINT Trading Card Store—surga buat para kolektor. Dalam perjalanan kami bahkan sempat lewat patung Hachiko, tapi jujur… gue skip foto karena terlalu excited buat nyari toko MINT.
Dan boom! Gue berhasil bawa pulang trading card Bruce Lee, Stranger Things, plus nekat buka blind pack di tempat. Hasilnya? Rare card Lionel Messi. Sampai-sampai pengunjung lain di MINT pada bengong, dan Dadut pun cuma bisa melongo.
Nggak berhenti di situ, gue juga nemuin pernak-pernik Star Wars, Back To The Future, Godzilla, sampai Tamiya Dash Yonkuro edisi mini. Rasanya kayak jackpot. Oh ya, satu momen gokil juga: gue nemuin CD legendaris Elvy Sukaesih versi Jepang. Gue mention beliau di sosmed, dan dibales dengan fallback langsung oleh Sang Diva Dangdut. Epic!
Oh ya serunya ketika kita bertemu dengan perwakilan dariu KBRI (kang Ibey) tiba-tiba ada 3 orang cewek yang menguntit social media kita yang sedang ngambil S3 di Jepang dan menemukan kita yang sudah ngefans dengan ALONE AT LAST sejak dia dibangku SMA dan kita dipertemukan di Jepang saat itu.
Sayangnya, ada satu wishlist yang belum kesampaian: mampir ke Pizza of Death Records official store. Lokasinya di Osaka, terlalu jauh dari Tokyo. Next time harus jadi misi wajib. Malamnya kami habiskan dengan beberes AirBnB, ditemani candaan Raffipip dan Kang Apey yang udah nemenin perjalanan ini dengan support luar biasa.
Day 8 – Air Mata di Haneda
Hari kedelapan sekaligus hari terakhir. Kami harus berangkat pagi-pagi ke Bandara Haneda karena flight jam 10. Hampir semua nggak tidur semalaman, takut kebablasan.
Dan inilah momen paling berat. Saat berpamitan, Abe—yang selama ini nemenin dan bantuin kami—tampak paling gloomy. Wajahnya kayak anak yang ditinggal orang tuanya. Sampai di imigrasi, gue, Athink, dan Abe nggak bisa nahan air mata. Berat rasanya berpisah, tapi begitulah realita. Teman-teman harus kembali ke rutinitas kerja di negeri orang, sementara kami pulang membawa segudang kenangan.
Perjalanan pulang sedikit terobati dengan kenyamanan armada travel King Ichsan Travel (shout out buat Ghofur) yang dilengkapi karaoke. Setibanya di Bandung, kami disambut hangat dengan makan besar di restoran Padang baru yang lagi grand opening. Kenyang, puas, dan jadi penutup yang manis.


Kenapa Semua Ini Berarti?
Delapan hari mungkin terdengar singkat. Tapi buat gue pribadi—dan mungkin juga buat Alone At Last—ini perjalanan monumental. Dari ngobrol receh sampai tangisan di bandara saat berpisah dengan teman-teman komunitas Indonesia di Tokyo, semuanya menempel erat di ingatan.
Japan Invasion 2025 bukan cuma soal manggung di luar negeri. Ini tentang bagaimana musik bisa mempertemukan orang-orang, menghubungkan komunitas, dan bikin kita belajar lebih dalam tentang budaya, disiplin, hingga persahabatan.
Dan ketika gue berdiri di panggung Machida dengan FYC Offbeat Black di kaki gue, gue sadar: mimpi itu akhirnya jadi nyata.
Refleksi – Lebih dari Sekadar Tour
Japan Invasion 2025 bukan cuma tentang delapan hari perjalanan dan satu panggung di Machida. Ini tentang Tawa dan obrolan larut malam, Hal-hal konyol dan reckless yang selalu bikin kita ketawa, Peluh, crowd yang luar biasa, dan pelukan hangat setelah show dan Ilmu baru tentang disiplin, budaya, dan cara hidup yang berbeda.
Tentu saja, persahabatan yang makin kuat, baik di antara personil Alone At Last maupun dengan teman-teman komunitas Indonesia di Jepang.
Gue menutup catatan ini dengan satu kalimat:
“Japan Summer, we wait for you. Sampai jumpa lagi di panggung Tokyo, Osaka, atau kota lainnya. Invasion belum selesai.” -Yas
*nulis sambil dengerin lagu ini: Dradnats - I’ll Find The Answer